bermimpilah..

cuma pengen mindahin catatan di fs pas 29 Des 2007..

**********************************************************

Hmm..udah 4 bulan lebih disini, tapi ntah knapa masih aja ngerasa suatu waktu akan denger suara-suara, “mas teggoouuhh, bangunn.. mas teggouh, ada cucian ga?”, hehe. Ya, itu suara si bibi, tukang cuci di kostan sewaktu di bandung, jam weker paling canggih sedunia,..hehe..bcanda.. Hmm, pakabarnya sekarang yah? smoga dia dapet pelanggan baru pengganti ku…

Dah, balik lagi ke awal,.. yah itu td.. aku masih ngrasa asing disini, masih ngrasa besok ato lusa ato minggu depan, aku bakal pulang. Ga tau juga apa sebenarnya yang bikin sulit adaptasi disini. Kalo dipikir-pikir lagi sih, kayaknya intinya soal makanan. Susah pisan nyari makanan yang bisa dimakan(baca: halal, enak & murah) disini. Kalo pun nemu, rasa makanan itu pasti brantakan..hehe.. Ga tau ni orang-orang Taiwan, pada ngerti yang namanya bumbu ga sih ??.. 😀

Jadi sebenarnya kita(orang-orang indonesia) harus bersyukur punya leluhur yang berhasil menemukan tanaman-tanaman yang bisa dijadikan bumbu masak, dan berhasil mengetahui komposisi racikannya bumbu masak buat rendang, opor, gule, kari,tumis, dll. Sedang orang Taiwan sini, beeuhhhh… Kayaknya menurut mereka bumbu makanan paling enak itu yah, bumbu dari minyak ato kaldu b*b*.

Iya, itu tuh salah satu yang bikin repot, b*b* disini dijadiin bumbu masak. Kadang ada nemu makanan, katanya ga pake daging b*b*, yah emang sih bener ga pake daging b*b*, tapi eh ternyata bumbunya ada make minyak b*b*. Sama aja boong !

Alternatif laen, sebenarnya gampang juga sih nemu daging sapi ato ayam. Berdasarkan Qur’an dan Hadist, kita dibolehkan makan daging hewan yang disembelih orang-orang yang bukan muslim (selain hewan yg diharamkan untuk dimakan, tentunya). Tapi masalahnya mayoritas orang sini tak punya agama alias atheist, jadinya tetep aja repot. Hhhh…

Sebenarnya bisa juga sih nemuin masakan indo disini, tapi letaknya jauh dari kampus, dan harganya juga mahal. Bisa bangkrut kalo tiap hari makan makanan Indo disini, heheh..

Yah, gitulah masalahnya… Sadar sih sbnarnya, aku ga boleh trus-trusan gini kalo ga mau kuliah ku sama kayak pas di bandung.. uuupppss… malah buka rahasia sendiri..hehe..

Oia, jadi pengen cerita kenapa aku bisa sampe sini. Bukan maksud buat gaya-gayaan ato sombong-sombongan sebenarnya, dan jujur aja td nya males buat cerita-cerita. Tapi setelah beberapa orang nanya, trus ceritain ke mereka, seneng juga denger reaksi mereka. Seneng pas mereka bilang,

“Wah, IPK gw kan lebih gede dari lu, Guh. Harusnya gw lebih mudah dapet beasiswa ya ??? Jadi semangat nyari beasiswa juga nih gw.”

atau

“Lu kan dulu nyontek gw mulu Guh, masak lu bisa dapet beasiswa, gw ga bisa??? Pengen nyoba juga ah..”.

Nyesek sih kata-kata awalnya emang,.. 🙁 tapi itu bisa termaafkan kalo bener mereka jadi semangat nyari beasiswa juga, hehe.. 🙂

Ok, kita mulai ceritanya.. Jujur aja aku ga akan marah kalo orang bilang “hoki lu gede banget, Guh”. Karena kalo dipikir-pikir lagi, yah emang banyak hal yang menurut bahasa manusia, ini terjadi kebetulan. Walo hakikatnya, semuanya merupakan skenario Allah, dan aku selalu bersyukur untuk itu. (alhamdulillah..100000x)

Berawal dari November 2006, ketika seorang temen bernama Delint, ngasih tau kalo Pak Edi Soe(salah satu Prof. di Dept Math ITB) butuh orang matematik yang bisa programming buat bantuin risetnya. Sebenarnya waktu itu aku dah mutusin pengen pulang ke Medan. Tapi pas denger berita itu, jadi mikir ulang, apa salahnya kalo aku tunda beberapa bulan rencana pulang ke Medan, kan lumayan punya pengalaman riset. Singkat kata, aku ikut Pak Edi bantuin risetnya. Agak dikit ga  pede sih awalnya, karena ternyata risetnya tentang Tsunami, yah bagian dari Matematika Terapan sesuai bidangnya Pak Edi. Riset ini ternyata merupakan kerja bareng dengan Pak Syahril (Dosen Sipil-Hidro). Pak Syahril juga punya ‘anak buah’ untuk urusan Tsunami ini, namanya Bagus, dia mahasiswa S2 Sipil-Hidro. Si Bagus inilah yang kemudian untuk beberapa bulan jadi temen seperjuangan ‘menghadapi’ Tsunami, hehe..

Sebulan pertama aku pontang-panting belajar ini itu, kumpulin semua resource tentang tsunami, mulai dari fluid dynamics, shallow water wave, finite difference, maccormack method, matlab, openGL, ampe C++ tentunya. Aku bener-bener mulai dari nol, bener-bener mulai dari kalkulus I dan fisika dasar, yang sama sekali tak tersentuh beberapa tahun. Untungnya, si Bagus udah lebih dulu mulai dalam riset ini, jadi untuk beberapa meteri bisa belajar lewat Bagus, hehe.. Pada masa-masa itulah aku merasa jadi lulusan Matematik paling bodoh sedunia, karena begitu banyak hal yang tidak aku ketahui. Aku menyesal telah menyia-nyiakan masa-masa kuliah 4 taon ku, menyesal telah meremehkan materi-materi abstrak yang aku pikir ga akan pernah kepake dalam hidupku. Pertanyaan yang kemudian sering muncul dalam hati, “Jadi sebenarnya apa yang aku pelajari selama ini ??”. Sempet terlintas juga dalam hati, “Ya Rabb, seandainya saja Kau ijinkan aku sekali lagi untuk belajar,.. tentunya aku berjanji untuk berusaha tak menyia-nyiakannya lagi.”. Tapi.. argh, itu cuma mimpi pikirku dulu.

Waktu itu aku sempatkan juga untuk mengumpulkan beberapa klip Tsunami Aceh dan beberapa tempat dari internet. Klip-klip itu jadi semacam ‘doping’, bila rasa jenuh dan capek datang. Tiap kali abis nonton klip-klip itu, jadi ngrasa jenuh dan capek yang aku rasakan ini ga ada apa-apanya. Bukankah kesedihan yang membuat kita lebih tegar dan sabar ??..

Pertengahan Januari, satu bagian program simulasi gelombang Tsunami rampung juga. Meski masih dalam Matlab, tapi lumayan memberi angin segar, penyemangat untuk menyelesaikan bagian-bagian lain..:D

Tapi kemudian muncul satu masalah, dan sebenarnya masalah inilah yang menjadi awal jalan menuju Taipei..:D Program simulasi dalam Matlab tersebut butuh waktu lama untuk mengeluarkan hasil/ouput, karena terlalu banyak perhitungan numerik di dalamnya. Ya, “numeric” jadi kata kunci pertama. Masalah ini kemudian aku ceritakan ke Pak Edi, aku jelaskan bahwa kalo emang tujuan dari riset ini untuk bisa bikin Tsunami Early Warning System, itu mustahil kalo cuma ngandalin komputer biasa. Ada ratusan ribu perhitungan di dalamnya, padahal riset ini masih make area sample. Pastinya jumlah perhitungan itu akan meningkat tergantung luas area investigasi. Pak Edi mengerti masalahnya, dan keputusan dari dia untuk sementara riset ini hanya sampai bikin software simulasi Tsunami. Okeh, aku sepakat ama Pak Edi.

Aku ingat dulu pernah ngikuti seminar Matematika Terapan di salah satu kampus di Jakarta. Ciee..gaya bener ya ???… Sebenarnya awalnya bukan ikut seminar.. 😀 Waktu itu ada semacam pertemuan himpunan mahasiswa matematika se-DKI-Banten-Jabar. Nah, dipertemuan itu diselingi seminar itu, jadinya yah ga sengaja dengerin, hehe.. Pembicara waktu itu doktor lulusan salah satu kampus di Australia. Satu yang aku ingat adalah beliau menggunakan parallel system untuk membantu menyelesaikan disertasinya. Ya, “parallel system”. Ini kata kunci berikutnya.

Brangkat dari keyword “parallel system”, aku searching lewat ‘mbah google’ orang-orang yang ahli di bidang itu. Aku dapet belasan nama, lengkap dengan email dan institusi mereka. Selain itu aku juga tanya beberapa temen yang kuliah di Computer Science, barangkali ditempatnya ada salah satu dosen yang fokus ke bidang Parallel System. Modal nekad, meski English pas-pasan, ku emailin satu-satu professor itu. Waktu itu yang kutanyain seputar kemungkinan parallel system diterapin ke dalam masalah tsunami ini.

Dan kalian tau respon profesor-profesor itu ???.. Yah emang ga semua ngasih respon bagus sih. Ada juga yang nolak secara halus. Tapi cukup banyak yang ngasih harapan. 😀 Diantaranya bilang, ..

“The problem you described is very interesting, and parallelizing would be one of the most promising way to solve the problem. So, I would be interested in supervising you in your further studies.”

“That will be a significant study. You are welcome to apply.”

“I looked through your research proposal and it looks quite appropriate for a Master thesis, and parallelization is of course my area of research. Hence, in case you are admitted to the ME studies at the University of Auckland I am willing to supervise you.”

Sejak itu, mulai lah diskusi dengan mereka via email selama kurang lebih 3 bulan. Maret 2007 akhirnya keliatan ada 3 profesor yang sangat antusias. Pertama, dari Karlsruhe, Jerman, trus dr Taipei, Taiwan, dan Auckland, New Zealand. Tapi segala sesuatunya ga berjalan mulus. Sang profesor dr Jerman bilang dia bisa bantuin proses masuk ke kampusnya dengan free tuition fee, tp beliau mengkhawatirkan masalah biaya hidup karena ga ada program beasiswa dikampusnya saat itu. Beliau menyarankan untuk melihat kemungkinan dapat beasiswa dari DAAD. Sialnya, saat itu pendaftaran buat DAAD sudah tutup dan sedang dalam proses menunggu pengumuman. Terlalu lama kalo harus nunggu hingga 2008 pikirku.

Lain lagi masalah di jalan menuju New Zealand. Sang profesor bilang, silahkan kirim aplikasi ke bagian admission division dengan mencantumkan rekomendasi dari beliau. Masalahnya karena New Zealand adalah negara dengan bahasa nasionalnya English, pihak universitas minta skor IELTS 6.5 dengan rata-rata minimal 6.0/section. Wuih, itu berat buatku. 😀 Aku ceritakan masalah ini ke si profesor. Dia malah menyarankan untuk daftar yang bulan Desember, jadi masih punya waktu beberapa bulan buat nyiapin IELTS. Hmm..

Akhirnya, yaudah.. tinggal Taipei pilihan yang paling memungkinkan saat itu. Untuk yang Taipei ini, email si profesor aku dapat dari seorang teman yang udah lebih dulu berada di Taipei, Dedi namanya. Dia bertanya ke profesornya, Prof. KW Ke, dan profesornya memberikan nama Prof. WY Liang, satu-satunya dosen yang ahli di bidang parallel system di kampus itu, National Taipei University of Technology.

Dan teteepp.. jalan itu ga mulus ma frenn !

Pihak universitas minta skor GRE, karena mereka melihat IPK bukan suatu penilaian yang mutlak dan kualitas kampus di tiap negara pasti berbeda-beda. Jadi anggapan mereka harus juga dilihat kemampuan dasar seseorang dan bisa didapat dari skor GRE.

Apa itu GRE?? Okeh, let me search, sekedaap.. GRE itu singkatan dari Graduate Record Examinations, yah semacam Tes TPA gt lah tp versi English. “GRE is primarily focused on testing abstract thinking skills in the areas of math, vocabulary, and analytical writing.”, kata Wikipedia.

Aku mulai stres, dimana nyari test GRE?? Cari-cari info, ternyata ada lembaga resmi berskala internasional untuk GRE di Jakarta, dan kalian tau biayanya?? 140 USD, men..!, ato sekitar sejuta empat ratus ribuan rupiah saat itu. Mahal pisan, euy. Aku ceritakan masalah ini ke si profesor dan menanyakan kemungkinan buatku untuk daftar tanpa disertai skor GRE. Seminggu kemudian dibalas, beliau dapat informasi dari kepala departemen bahwa hanya pelamar yang benar-benar punya kemampuan/pengalaman khusus yang bisa diterima tanpa skor GRE. Tapi beliau menyarankan untuk mencoba saja mengirim aplikasi lebih dulu, skor GRE bisa menyusul kata beliau.

Setelah baca email itu, semangatku jadi redup. Aku cuma bisa duduk lemas di depan kompie, niat untuk menyelesaikan simulasi di lab hari itu, hilang. Tapi disini kejadian menarik terjadi, dan aku selalu bersyukur tiap kali teringat.

Tiba-tiba Pak Hengki, mahasiswa S3 dibawah bimbingan Pak Edi Soe, masuk ke ruangan lab. “Guh, ini ni ada Education Expo dari Sampoerna Foundation, kali aja pengen liat. Tadi di jalan ada yang bagi-bagi brosur.”

Awalnya aku tak semangat untuk menerimanya. Tapi pas baca kalimat paling bawah: “FREE ! TEST TOEFL, IELTS, GRE, & GMAT”. Alhamdulillah..!

Dua minggu kemudian, aku ikut tes GRE yang gratisan itu. Saat itu dokumen lamaran sudah aku kirimkan ke Taipei, disertai keterangan bahwa skor GRE ku akan menyusul. Hasil dari tes GRE, tidak terlalu bagus, tapi juga ga jelek-jelek amat lah. 😀 Karena gratisan, yang di tes cuma 2 bagian, verbal dan kuantitatif, padahal harusnya ada 3 bagian, tes logika satu lagi. Tiap bagian, skor minimal 200 dan maksimal 800. Sempat muncul rasa pesimis, karena aku cuma dapat skor 300 untuk tes verbal. Kalo dipersenin sekitar 16%an lah jawabanku yang benar, jelek pisan kalo gitu ya??.. hehehe. Syukurnya, skor tes kuntitatif dapat 700 ato sekitar 83%an jawaban benar. Setelah dapat skor GRE, aku hubungi pihak kampus di Taipei, dan kirim copy hasil tersebut via fax.

Berikut-berikutnya, tetap jalan itu blon mulus. Syukurnya, tiap kali ada masalah, qjji segera tunjukkan solusinya. Oia, satu lagi, dulu seorang teman pernah bilang bahwa kriteria yang lazim diminta sebagai syarat untuk dapat beasiswa sekolah diluar adalah IPK min 3.0(dari 4.0) ama TOEFL 550. Dan,.. aku sama sekali tak punya kriteria itu..

Hhhh.. gitulah ceritanya. Itu sebabnya diawal aku bilang, aku ga akan marah kalau orang bilang, “Hoki, lu Guh !”. 🙂 Kalau aku bilang, ada Dzat Yang Maha Berkehendak. Dan, kalau boleh ngambil kata-kata mas Andrea Hirata, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu”. 🙂

*****************************************************************

2 thoughts on “bermimpilah..”

  1. Saluut…buat mas teguh…
    sepakat dengan pendapat sampean di kalimat terakhir…
    sekarang ini aku juga lagi nyari gimana cara tes GRE..
    kemarin Agustus.. dengan kehendak Allah SWT, aku dpertemukan dengan
    seorang profesor ngajar di USA asli indonesia..beliau nawarin kul master disana.. ada beasiswa tentunya.. syaratnya harus lulus GRE mini 1000, waduh aku juga bingung apa tuch GRE, langsung dech tanya mbah google..ketemunya ma mas teguh…he3x…
    sukses buat mas teguh.. aku juga alumnus math ITS Surabaya

  2. makasih dah mau mampir k blog saia, mas Zaq,..

    semangat buat tes GRE nya mas,.. insya qjji di mudahkan..

    kalo minimumnya 1000,.. ga susah kok mas.. apalagi alumnus math,.. maksimalin di quantitative ama logic section.. 😀

    kcuali kalo ada minta ketentuan nilai rata-rata tiap section,.. soalnya verbal section-nya.. rada susah, beda ama TOEFL biasa.. 🙁

    salam,

Leave a Reply to Zaqiatud Darojah Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *